“Jilbab Putih Kekasih”

Posted: Juni 12, 2010 in Ulasan Buku
Tag:, , ,

Novel ini mengisahkan cinta asmara remaja yang berakhir happy ending, meski dalam perjalanannya tidak sedikit cadas yang merintanginya. Cinta mereka tidak disetujui oleh orang tua mereka karena berbeda kelas sosial. Olga, misalnya. Dia adalah anak seorang pengusaha kaya, namun amat religius, penurut, dan memegang teguh keyakinannya, terutama soal jilbab yang dikenakannya meski harus perang argumen dengan Antonius Rewang, kakak kelasnya di SMA Negeri 7.

Sebagai manusia normal yang dianugerahi rasa cinta, Olga menaruh hati pada seseorang bernama Hartono Gunawan Kamil alias Tono, teman yang sudah dikenalnya sejak SMP. Tono adalah seorang yang biasa-biasa saja, atau bunda Olga pada awalnya sering menyebutnya manusia”kere” yang tidak sama sekali pantas bila memadu kasih dengan anaknya, Olga. Namun, itulah cinta. Cinta tak pernah mengenal usia. Cinta tak pernah mengenal waktu, tak mengenal kelas sosial.

Awalnya, kedua orang tua Olga tak pernah menyetujui hubungan cinta Olga dan Tono. Rencananya, orang tua Olga akan menjodohkannya dengan Antonius Rewang, seorang remaja kaya raya, anak seorang pejabat Departemen Pekerjaan Umum. Ayah Olga kerap kali mendapatkan proyek usahanya berkat kerja sama dengan ayah Antonius. Sebagai balas jasa, bunda dan ayah Olga juga kedua orang tua Anton menyetujui hubungan Olga dan Anton, bahkan sampai ke jenjang perkawinan pun. Di sinilah terjadi pergolakan batin Olga. Antara penekanan orang tuanya dan ketidaksukaanya kepada Anton, selain Anton bergama katolik.

Setelah Olga dan Tono lulus SMA, kedunya pun berpisah karena berbagai pertimbangan. Tono melanjutkan kuliahnya di jurusan Publisistik dan komunikasi, meski sambil bekerja siang dan malam. Olga, melanjutkan kuliahnya di Negeri Kangguru dengan mengambil konsentrasi akuntansi menyusul kedua kakaknya.

Beberapa tahun kemudian, karena cita-cita sejak awal Tono ingin jadi wartawan, ia pun jadilah wartawan di harian cahaya dengan jabatan sebagai pemimpin redaksi. Sebuah jabatan bergengsi di dunia pers. Tanpa diketahui, ayah Olga dan ayah Anton terjerat kasus korupsi. Ayah Olga, yang seorang pengusaha itu menyogok ayah Anton yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum untuk memperlancar proyek usahanya.

Berita ditangkapnya pengusaha dan pejabat PU itu tersiar di berbagai media, termasuk koran Cahaya, tempat Tono bekerja. Kedua keluarga, baik dari Olga dan Anton, akhirnya memusuhi Tono akibat pemberitaan itu. Mereka menuduh Tono sebagai biang kerok  kedua ayah itu dipenjara. Menurutnya, itu sebagai upaya balas dendam Tono terhadap kelurga Olga yang selama ini menghina Tono sebagai manusia ”kere”.

Namun, setelah dijelaskan melalui kiriman email Tono kepada Olga, perempuan itu akhirnya mengerti, bahwa Tono sebagai wartawan bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik. Jadi, tidak mungkin Tono bekerja sesuai yang dituduhkan. Bila perlu, kata Tono, andai pemberitaan itu tak sesuai fakta, silakan para  tersangka mengajukan hak jawab. Namun, dijelaskan seperti itu, mereka pun tak bergeming.

Ayah Olga pun keluar penjara. Harta kedua orang tua Olga disita negara, yang tersisa hanya rumah yang ada di Australia. Singkatnya, kedua orang tua Olga sadar dengan perbuatannya yang salah langkah selama ini. Mulai dari memaksa putri sulungnya menikahi lelaki yang tak dicintainya , Anton. Hingga perilaku korupsinya selama ini.

Hampir di akhir cerita, ayah dan bunda Olga mempersilahkan kepada putri sulungnya itu memilih jodoh sesui dengan hati nuraninya. Bisa ditebak, memilih siapa Olga?

Membaca novel ini, bila dihayati dengan hati tenang, maka bisa mengaduk-aduk perasaan, apalagi, ini adalah cerita remaja yang ada kaitannya dengan zaman sekarang. Begitulah realitas!

Kalau boleh menyebut, novel ini adalah novel romantis-dramatis. Penulisnya, dengan apik dapat membuat pembaca penasaran, mengaduk perasaan, dan berbagai kejutan dalam setiap subjudulnya. Sehingga, itulah yang menjadi daya tarik karya K. Usman ini. Novel ini dapat dikategorikan sebagai novel religius. Sebab, banyak sekali pelajaran yang dapat dijadikan cermin dalam kehidupan. Selain disebut karya sastra religius, apa salahnya disebut juga novel psikologis. Karena, di dalamnya banyak sekali konflik batin yang dialami tokoh-tokohnya, terutama oleh Olga Alia Khairunnisa dan Hartono Gunawan Kamil alias Tono dalam mengarungi kisah cinta yang penuh perjuangan.

Selain itu, yang menarik, cerita novel ini disesuaikan penulisnya dengan kondisi zaman. Penggambaran dalam ceritanya menunjukkan kekinian. Tentunya Indonesia yang dijadikan objek ceritanya, serta realitas keadaan yang ada di dalamnya. Dengan sangat jeli, sang penulis membidik, menyinggung kesenjangan-kesenjangan sosial yang ada. Misalnya, kasus korupsi yang semakin kumuh dan merajalela yang melilit kaum elit. Novel ini, sangat terasa sekali sebagai protes sosial terhadap kita, yang mendiami tanah nusantara, terutama kepada wakil rakyat yang sudah tak merakyat itu.

Meski novel ini sangat kentara menggambarkan realitas Indonesia saat ini, sang penulisnya pun dapat memadukan kisahnya. Maksudnya, novel ini  menarik karena di dalamnya dibumbui kisah cinta muda-mudi, atau bahasa novel ini menyebutnya cinta monyet, meski pada akhirnya cinta itu menjadi cinta sunggguhan.

Terlepas dari berbagai kelebihan, novel ini pun mengandung beberapa kekurangan. Kekurangan itu terletak pada ungkapan repetisi/pengulangan pada tiap-tiap sub judul. Tidak diketahui pasti, apa maksud pengulangan itu. Apakah sebagai penegasan, atau ada hal lainnya. Tapi, lebih pasnya, mungkin pengulangan itu dapat membuat bosan pembaca. Sebab, tanpa pengulangan dengan menggunakan kata, kalimat, atau paragraf, itu pun bisa disebut karya sastra. Sebab, katanya, karya sastra yang baik adalah yang dapat mencerahkan bagi penikmatnya, masyarakatnya, dan yang bersingggungan dengannya.

Komentar
  1. Sukron Abdilah berkata:

    ramekeun atuh jejaringku.com, tulisan ini saya ambil buat situs jejaringku.com oke. iraha bade daftarna jang?

Tinggalkan Balasan ke Sukron Abdilah Batalkan balasan